Tragedi yang disebabkan ”rem blong” kembali terjadi di depan mata. Dua truk penumpah (dump truck) kelebihan muatan tanah untuk bahan baku pabrik keramik mengalami rem blong di jalur jalan yang sama dalam interval waktu tak terpaut jauh satu sama lain.
Truk pertama yang dikemudikan Dedi Hidayat (45) kemudian terguling di titik Km 91+100 Jalan Tol Purwakarta-Bandung-Cileunyi (Purbaleunyi), Senin (2/9/2019) sekitar pukul 13.00. Badan truk yang menutupi badan jalan tol dan tumpahan muatannya membuat puluhan mobil di belakangnya memperlambat laju sehingga terbentuk antrean panjang.
KOMPAS/MELATI MEWANGI--Polisi memeriksa truk yang terlibat dalam kecelakaan di ruas Jalan Tol Cipularang Km 91, Purwakarta, Jawa Barat, Senin (2/9/2019). Kecelakaan ini melibatkan 21 kendaraan dan menyebabkan sedikitnya 8 orang tewas.
Selang beberapa menit, truk tanah kedua yang dikemudikan Subana (40) tiba di lokasi antrean kendaraan itu juga dalam kondisi rem blong. ”Ada truk kedua yang dikemudikan Subana juga kehilangan kendali dan remnya blong. Truk itu menabrak kendaraan-kendaraan di depannya,” ujar Direktur Penegakan Hukum Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri Brigadir Jenderal (Pol) Pujiyono Dulrachman di lokasi kejadian (Kompas, 3/9/2019).
Rekaman video amatir menunjukkan bagaimana truk tersebut datang dengan kecepatan tinggi dan menggasak mobil-mobil di depannya tanpa ampun sehingga beberapa di antaranya memercikkan api kemudian terbakar. Total 8 jiwa melayang pada kejadian itu, termasuk Dedi Hidayat. Empat korban di antaranya sulit dikenali identitasnya karena hangus terbakar.
Jusri Pulubuhu, instruktur keselamatan berkendara dari Jakarta Defensive Driving Consulting, teringat beberapa tahun lalu saat ia diajak melakukan investigasi mengapa kecelakaan sering terjadi di kawasan sekitar Km 91-92 di Jalan Tol Purbaleunyi tersebut.
KOMPAS/MELATI MEWANGI--Warga melihat sisa-sisa kendaraan yang hangus terbakar dalam kecelakaan beruntun di ruas Jalan Tol Cipularang Km 91, Purwakarta, Jawa Barat, Senin (2/9/2019). Kecelakaan ini melibatkan 21 kendaraan dan menyebabkan sedikitnya 8 orang tewas.
Di kawasan itu jalan tol dari arah Bandung menuju Jakarta berupa turunan panjang dan berbelok. ”Yang membuat saya kaget, perilaku pengemudi di sana mengerikan sekali. Banyak mobil yang melaju di atas batas kecepatan yang ditetapkan untuk ruas itu, termasuk mobil-mobil besar, seperti truk dan bus. Dari 10 truk yang lewat, tujuh di antaranya melaju hingga kecepatan 100 km per jam,” papar Jusri kepada Kompas, Senin (2/9/2019) malam.
Menurut Jusri, perilaku itu sangat berbahaya mengingat kendaraan-kendaraan besar ini membawa muatan yang sangat berat sehingga momentumnya menjadi sangat tinggi. Dalam ilmu fisika, momentum adalah hasil perkalian antara massa benda dan kecepatannya. Makin besar massa dan kecepatan kendaraan, makin besar momentumnya, yang artinya dibutuhkan gaya yang jauh lebih besar untuk menghentikan lajunya.
”Dalam kondisi itu, momentumnya besar sekali dan kendaraan akan sulit dikendalikan. Apalagi, kondisi jalannya tidak ideal, yakni turunan panjang dan berbelok,” ujarnya.
Lebih membahayakan lagi, Jusri mencatat perilaku berbahaya lain yang sering dilakukan pengemudi angkutan umum, yakni mematikan mesin saat berada di turunan. Hal itu biasanya dilakukan dengan alasan untuk menghemat bahan bakar. ”Sehingga tidak ada pengereman mesin atau engine brake, jadi hanya mengandalkan rem biasa. Dalam kondisi ini, rem akan alami depresiasi karena panas sehingga terjadi brake fading, alias rem blong,” tutur instruktur senior safety driving ini.
Semua itu dilandasi pola pikir salah kaprah yang masih ada di kalangan pengendara bahwa rem adalah alat penghenti laju kendaraan. Kapan pun kendaraan perlu dihentikan, tinggal injak rem habis perkara. Padahal, ada beberapa hal yang perlu dipahami oleh pengendara terkait proses pengereman.
Kompas pernah mengulas tentang arti pentingnya sistem pengereman pada mobil ini di edisi Minggu, 27 Agustus 2006. Mengingat prinsip teknologi sistem rem pada kendaraan bermotor belum berubah terlalu jauh hingga saat ini, ulasan ini terasa masih sangat relevan untuk dipahami. Berikut ini ulasan tersebut dengan berbagai pengayaan:
Sudah tak terhitung kecelakaan lalu lintas akibat permasalahan pada rem kendaraan bermotor, atau kerap disebut ”rem blong”.
Namun, masih banyak pemakai mobil dan sepeda motor yang belum paham bagaimana cara kerja, memakai, dan merawat salah satu sarana paling vital untuk keselamatan penumpang itu.
Peslalom nasional yang juga Direktur Sentul Safety Driving Didi Hardianto mengatakan, perawatan rem dimulai dengan menggunakan rem secara benar. Pemakaian rem adalah bagian dari perilaku mengemudi.
”Masih banyak orang yang belum tahu bagaimana cara menggunakan rem dengan benar,” ujar pebalap yang lebih dari 10 tahun menjadi instruktur mengemudi yang aman ini.
Salah satu kesalahan paling umum adalah menganggap rem sebagai alat penghenti laju kendaraan. Dengan menginjak pedal rem dalam-dalam pada kecepatan apa pun, orang mengira mobil akan segera berhenti dan bisa menghindari tabrakan dengan obyek di depannya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN--Sebanyak delapan kendaraan terlibat kecelakaan beruntun di jembatan (fly over) Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (13/12/2018). Kecelakaan disebabkan rem truk pengangkut material blong dan menabrak tujuh kendaraan di depannya.
Bahaya mengunci
Dalam keadaan panik karena mobil di depan mendadak berhenti atau ada orang tiba-tiba menyeberang, pengemudi biasanya mengerem mendadak. Reaksi ini, alih-alih menyelamatkan, justru mengundang risiko bahaya maut karena pengereman mendadak roda dan ban akan mengunci atau berhenti berputar.
”Pada saat ban berhenti berputar, jangan diartikan mobil segera berhenti. Yang terjadi justru ban mobil akan slip atau skidding karena momentum gerak mobil. Dalam kondisi seperti itu, mobil tak bisa dikendalikan,” kata Didi.
Jusri Pulubuhu mengamini penjelasan ini, dengan menambahkan, saat mobil direm mendadak, yang berhenti hanyalah putaran roda-roda, tetapi bukan laju mobil. ”Mobilnya masih bergerak, bahkan tidak lagi bisa dikendalikan karena roda slip,” ujarnya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO--Pengguna kendaraan bermotor perlahan menembus hujan deras di Tol Jagorawi Km 31 di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (14/3/2009). Jarak pandang yang terbatas dan jalan yang licin membuat jalan tol rawan kecelakaan waktu hujan deras.
Untuk menghindari bahaya inilah ditemukan teknologi ABS (anti-lock braking system), sistem rem antimengunci sehingga, dalam kondisi darurat dan rem diinjak habis, roda tak mengunci dan masih berputar. Maka, arah gerak mobil bisa dikendalikan.
”Apabila mobil belum dilengkapi ABS, ada trik mengerem khusus agar mobil bisa diperlambat, tetapi masih bisa dikendalikan,” katanya.
Trik dimaksud adalah menginjak penuh rem pada kesempatan pertama, lalu lepaskan rem sesaat, kemudian segera injak lagi, demikian berulang-ulang sampai laju kendaraan terkendali.
”Tujuannya, pada saat rem dilepas sesaat, roda masih berputar dan pengemudi bisa mengarahkan mobil dengan setir,” kata juara nasional Slalom Test 2005.
KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA--Jurnalis menjajal fitur ”pre-collision safety” (PCS) yang disematkan di Toyota Prius terbaru, di Fuji Speedway, Jepang, akhir Agustus 2016. Mobil akan mengerem mendadak sebelum menabrak benda (target) di depannya meski pedal rem tidak diinjak. Fitur keselamatan ini membantu pengereman, bukan menghentikan total laju kendaraan.
Namun, yang lebih utama, menurut Didi, adalah menjaga jarak aman dengan kendaraan di depan. Di tol, patokan jarak antarkendaraan itu dipasang dalam bentuk rambu mata kucing pada pagar pembatas jalan.
Sementara, menurut Jusri, di sejumlah negara maju ada patokan menjaga jarak aman antarmobil dengan interval waktu 2-4 detik untuk mobil kecil dan 4-6 detik untuk mobil besar. Cara menghitung interval ini adalah dengan memperhatikan obyek atau titik yang dilewati kendaraan di depan kita, misalnya tiang listrik atau rambu di tepi jalan, kemudian dihitung waktunya sampai mobil kita juga melintasi titik yang sama.
”Tetapi harus diingat, patokan itu hanya berlaku saat semua dalam kondisi ideal. Mobilnya dalam kondisi ideal, pengemudinya dalam kondisi ideal (tidak mengantuk atau sakit), dan jalan serta cuaca juga dalam kondisi ideal. Dalam kondisi tidak ideal, misalnya di jalan menurun tajam atau saat hujan, jarak antarmobil harus ditambah untuk memberi ruang cukup bagi reaksi manusia dan reaksi mekanikal kendaraan,” papar Jusri.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI--Kendaraan dari arah timur menuju Jakarta melintas di Tol Cipali, Jumat (7/6/2019). Arus balik kendaraan menuju Jakarta mulai ramai pada H+2 Idul Fitri. Menjaga jarak aman antarmobil menjadi salah satu faktor penting keselamatan berkendara di tol.
Waspadai panas
Dikwan Irawan, mekanik asal Bandung yang sering ikut ajang balap drag race, menambahkan, untuk merawat sistem rem kendaraan, orang harus memahami cara kerja dan prinsip dasar yang melandasi cara kerja rem.
Sebagian besar orang menganggap daya perlambatan rem disebabkan adanya gesekan mekanis antara kampas rem dan bagian yang berputar, baik itu piringan dalam sistem disc brake maupun permukaan tromol pada sistem drum brake. Namun, yang melambatkan laju mobil bukanlah gesekan mekanis yang membuat gerakan piringan atau tromol menjadi tersendat.
Secara fisika, saat kampas rem menekan dan menggesek piringan rem, terjadi konversi energi. Energi gerak (kinetik) karena perputaran roda diubah menjadi energi panas sehingga berangsur-angsur energi kinetik menjadi semakin kecil yang artinya perputaran roda makin lambat. Energi panas yang terbentuk kemudian dibuang ke lingkungan sekitar melalui aliran udara.
KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO--Siswa-siswa SMK N 1 Palangkaraya sedang belajar memasang rem mobil di Bengkel Otomotif SMK, Rabu (11/2/2015). SMK itu menjalin kerja sama dengan Toyota Astra Indonesia dalam mendidik siswa-siswinya, khususnya bagi jurusan Teknik Kendaraan Ringan.
Maka, sistem rem menjadi sensitif terhadap panas. Seluruh bahan yang digunakan dalam sistem rem, seperti kampas, piringan, dan cairan oli rem, sudah diperhitungkan untuk menahan panas hingga suhu tertentu. Apabila panas yang diterima sistem tersebut melebihi daya tahannya, rem dapat tak berfungsi dengan baik karena tak ada tempat lagi untuk menampung energi panas yang terbentuk.
Dalam kondisi ekstrem saat rem digunakan terus-menerus, misalnya di jalan menurun yang panjang, piringan dan kampas rem akan makin panas. Di sinilah akan terjadi gejala brake fading, alias hilangnya daya pengereman.
Selain itu, jika kondisi ini berlangsung terus, oli rem dapat mendidih dan terbentuk gas dalam pipa hidrolik sistem rem. Dalam bahasa awam, gas yang terbentuk ini disebut ”angin palsu”. Tekanan oli terhadap kaliper rem bisa jadi berkurang karena ”angin palsu” itu dan kinerja rem menjadi anjlok.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO--Para mekanik melakukan perbaikan dan perawatan mesin bus di garasi pusat salah satu perusahaan otobus di Jalan Lingkar Barat, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (14/2/2012). Untuk mengurangi risiko perjalanan, pengelola perusahaan bus dengan tujuan Sumatera dan kawasan barat Pulau Jawa tersebut mewajibkan pengecekan sejumlah bagian vital bus, seperti rem, kopling, mesin, kondisi ban, serta pelumas, setiap kali bus baru saja tiba dan hendak meninggalkan tempat tersebut.
Minyak rem DOT 3 (titik didih 205 derajat celsius) dan DOT 4 (230 derajat celsius) yang biasa digunakan terbuat dari bahan dasar senyawa glikol (polyalkylene glycol ether) yang bersifat menyerap air. Air di dalam sistem hidrolik rem akan sangat berbahaya karena air mendidih menjadi uap pada suhu 100 derajat celsius, sedangkan saat rem bekerja suhunya bisa melampaui angka tersebut. Ini dapat menimbulkan ”angin palsu” berupa gas uap air dalam selang-selang hidrolik rem.
Untuk menghindari terjadinya brake fading ini, pengemudi perlu memanfaatkan engine brake saat berjalan di turunan panjang. Pada mobil bertransmisi manual atau matic tiptronic, pindah gigi transmisi ke rasio lebih rendah, misalnya ke gigi 3 atau gigi 2. Sementara pada mobil bertransmisi otomatis biasa, geser tongkat persneling ke posisi L atau S.
Dikwan menyarankan, rem diservis setiap enam bulan untuk membersihkan dan mengecek kondisi ketebalan kampas rem. Selain itu, minyak atau oli rem harus dikuras dan diganti minimal setahun sekali karena dalam kurun itu kualitas oli menurun akibat menyerap air.
Mekanik asal Bandung ini juga mengingatkan agar Anda tidak terlambat mengganti kampas rem yang sudah tipis. Jika bahan kampas sudah habis, yang bergesekan dengan piringan rem adalah besi penahan kampas. Hal ini akan membuat piringan terkikis dan tak rata.
”Kalau sudah seperti itu, piringan harus dibubut supaya rata kembali. Namun, pembubutan tak dianjurkan karena bisa merusak lapisan hardener di permukaan disc rem,” kata Dikwan.--DAHONO FITRIANTO
Sumber: Kompas, 5 September 2019
No comments:
Post a Comment